Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Sabtu, 29 Oktober 2011

Seminar BMCHK 29 Oct 2011

Seminar BMCHK: Bakat Minat Cita2 Hobi dan Karakter = Mengenali cara belajar 7 MENIT seseorang anak, guru dan orang tua untuk karir bersama-sama.

Jumat, 14 Oktober 2011

Mengapa Pimpinan Sulit Menilai Bawahan?

Mengapa Pimpinan Sulit Menilai Bawahan?
http://bestcharacters.blogspot.com/2011/10/mengapa-pimpinan-sulit-menilai-bawahan.html
http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=38

Di salah satu sesion program Passion of Teamwork, salah satu topik yang muncul adalah demikian. Seorang karyawan selama ini merasa yang paling berhak menilai prestasi adalah atasan ybs.

Kami selalu mencoba menunjukkan realitas yang sebenarnya, bahwa amat sangat sulit seorang atasan menilai bawahannya dengan obyektif bila tidak dibantu dari ybs untuk unjuk prestasi. Salah satu contoh biasanya kami meminta salah seorang Supervisor atau bahkan Owner untuk dibuat “role play” yang didengarkan oleh para peserta.

Pertanyaannya adalah sbb: “Apabila Anda bekerja keras setiap hari dan pulang jam 20-21 saat tiba di rumah Anda selalu menyaksikan pembantu rumah Anda selalu sedang santai, nonton TV atau Video sambil baca2 majalah yang semuanya milik Anda, apakah yang Anda rasakan?”. Sebagian besar dari para “majikan” lansung mengatakan bahwa adanya perasaan kesal, marah dan/atau sebal”. Kemudian kami tanyakan “ Mengapa dan bagaimana kemungkinan pembantu tsb bisa dinaikkan gajinya atau ditambah kerjaan?”. Selaras dengan pernyataan mereka tadi, bahwa kemungkinan kenaikan gaji tidak maksimal atau ditambah kerjaan. Kami ingatkan kembali, mereka bisa saja sudah santai karena sudah bekerja dan menyelesaikan semua pekerjaan, mengapa kita bisa menjadi demikian “subyektif” dan menghakimi dengan perasaan tersebut.

Demikianlah kondisi seorang “atasan” yang melihat hanya satu anak buahnya, apalagi bila seorang atasan memiliki anak buah yang banyak, sangat subyektif sekali bukan kalau tidak mau disebut “sangat sulit menilai bawahan”? Kemudian kami mencoba menejelaskan kondisi yang bisa saja mirip terjadi, yaitu ada kalanya seorang karyawan sedang apes, saat santai dan main game, kepergok oleh atasannya cukup sering. Apakah nasib sang karyawan akan bisa mirip dengan kondisi sang pembantu tadi? Hasil kerja keras setahun bisa saja dirusak oleh apesnya kejadian tadi.

Sekarang bayangkan bila sang pembantu pada jam-jam tertentu melaporkan bahwa ybs sudah menyelesaikan tugas-tugas dan hal-hal terkait, lalu sang pembantu melanjutkan dengan bertanya “bolehkah saya menonton atau membaca atau santai/beristirahat”? Semua majikan pasti menyetujui tindakan tersebut. Masalahnya adakah pembantu diajarkan cara tersebut? Mungkin bila para TKI kita diajarkan Passion of Teamwork mereka akan bisa unjuk prestasi juga di depan para majikan dan bukannya ditambah-tambah kerjaannya hanya karena lagi “apesnya” sang pembantu.

Bagi Anda sendiri silahkan menilai, manakah sebenarnya yang layak secara obyektif menilai diri Anda, 100% oleh Atasan (yang belum tentu melihat Anda bekerja) atau seluruh Team 360 derajat? Apa yang dinilai, tentunya prestasi dari diri Anda seutuhnya yang sangat mungkin lebih baik daripada hanya “copy”-an JOB DESCRIPTION. Bisa juga Anda mengevaluasi, team kita lebih terlatih mana: unjuk rasa atau unjuk prestasi?

Cerita lain yang lebih menggambarkan Program Passion of Teamwork (BKPI with Free Lifetime Counceling Guarantee) bisa di klik di: http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=33 dan http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=37

Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling

PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com

www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com

Selasa, 04 Oktober 2011

3 Faktor Pelatihan PASTI Efektif

http://www.careplusindonesia.com/article.php?idarticle=37

Sedikitnya ada 3 faktor utama yang justeru sering diabaikan oleh para pengambil keputusan, pelatih, dan peserta. Kami mengumpulkan cukup banyak data dan silahkan Anda lakukan sendiri uji coba sbb:

1. Retention: Coba tanyakan kepada teman atau relasi kita seberapa ingat ybs mengingat suatu pesan yang untuk mudahnya yang diterima saat mendengarkan suatu ceramah (entah hari Minggu atau Jumat dsb). Seberapa persen masih diingat pesan "penting" tersebut. Kalau perlu ditanyakan kembali pesan yang dia terima 2 minggu lalu. Anda akan kaget bahwa walau sang pembicara "luar biasa" penyampaiannya, dalam kondisi khusuk dan tempat/lingkungan yang tepat begitu rendahnya "retention" seseorang terhadap sebuah pesan. Jangan ditanya seberapa ingat mereka akan pesan dari atasan saat di kantor/tempat kerja. Bila skor yang Anda survey ada diatas 25% maka itu sudah lumayan.

2. Repetition: Beberapa cara dilakukan untuk mencegah "retention" atau lupa nya seseorang akan sebuah pesan, maka dilakukan "repetition". Contoh ringkasnya adalah sbb: seorang anak harus tahu bahwa target akhir tahun yang diharapkan orang tuanya adalah naik kelas. Bayangkan apabila sang anak harus diingatkan terus setiap hari soal "naik kelas" atau contoh bagi seorang karyawan target yang harus dikejar tiap hari. Apa akibat yang muncul? Kemungkinan besar adalah munculnya rasa stress. Apabila tim Anda masih di atas 50% bersedia diingatkan soal target rutin (minimal menerima telpon/menjawab SMS Anda) maka sudah termasuk lumayan. Situasi makin rumit sekarang bukan?

3. Subyektifitas: Hal tesebut diatas diperparah oleh adanya unsur Subyektifitas sang manusia. Sebagai contoh, bagi seorang owner/pemilik perusahaan adalah sangat-sangat-sangat wajar bila mengingatkan soal "Perusahaan harus untung sebesar-besarnya dengan biaya yang serendah-rendahnya" karena ini merupakan teori ekonomi mutlak. Akan tetapi apabila hal tersebut disampaikan pemilik terus menerus dalam sebuah rapat, maka kemungkinan besar sebagian karyawan akan pulang memberi tahu isterinya kira-kira apa ya soal kenaikan gaji tahun ini? Sebaliknya kalau saatnya sang anak pemilik perusahaan bertanya kepadanya untuk minta petunjuk mencari perusahaan untuk magang, sebagian besar akan memberikan jawaban kepada sang anak untuk mencari perusahaan yang "bonafid" atau jelasnya mampu memberikan gaji tertinggi dan karena ini menyangkut sang anak, maka diembeli dengan pesan "jangan kerja terlalu keras nanti sakit". Kelihatannya normal bukan? Akan tetapi hal inilah yang disebut contoh subyektifitas, yaitu pesan kepada karyawan dan kepada anak bisa 180 derajat berbeda. Mungkin ditempat Anda kasusnya berbeda, akan tetapi karyawan bisa melihat pasti ada "anak emas" atau "kambing hitam" dalam suatu organisasi. Apabila Anda survey yakin tidak ada istilah "anak emas" atau "kambing hitam" yang menjadi issue dalam organisasi Anda, maka unsur subyektifitas bukanlah momok dalam organisasi Anda.

Dengan adanya salah satu atau kesemua ketiga hal tersebut di atas, tentunya efektifitas suatu TRAINING atau bahkan Penyampaian suatu PESAN (MISI dan VISI) perusahaan menjadi mubazir.

Apabila Anda sudah mencoba mensurvey dengan cara di atas dan sungguh-sungguh ingin mendapatkan solusi atas ke tiga masalah tersebut berdasarkan dari 20 perusahaan yang sudah proven, maka jangan takut untuk berdiskusi dengan kami untuk bersama kita ambil solusinya sehingga kita bisa mendapatkan solusinya mendekati 100%. Tertarik? Silahkan survey terlebih dahulu sendiri ya.

Salam Karakter,
Ir. William Wiguna, CPHR., CBA., CPI.
Care Plus Indonesia®
The First Life Time® Program & Counseling

PIN BBM: 2144922D
Twitter @williamwiguna
FB: William Wiguna
HP: 0818-839469, 021-94746539
william.wiguna@gmail.com
william@careplusindonesia.com

www.careplusindonesia.com (NEW, REDESIGNED!)
www.bestcharacters.blogspot.com