Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Senin, 15 Agustus 2011

"Mengapa Seseorang Membeli Mobil Mahal?"

Begitulah pertanyaan anak saya yang ABG saat kami jalan sehat di pagi hari ybl. Pertanyaan tersebut terlintas begitu saja ketika Nathanael melihat sebuah mobil Taksi yang masih baru dan mulus melewati kami. Kemudian dia melanjutkan, "Apakah ngga rugi ya beli mobil mahal2?".

Saya berharap disinilah awal diskusi yang sehat untuk dimulai. Saya mencoba berhitung dengan anak saya untuk membeli sebuah mobil katakanlah seharga Rp. 200 juta, dan kemudian setelah 2 tahun dijual dengan harga Rp. 100 juta, sehingga bisa dikatakan seperti anak saya tadi bahwa pasti rugi, yaitu Rp. 100 juta.

Karena minat anak saya bertambah, maka saya coba bantu hitung secara kasar, bahwa selama 2 tahun merugi Rp.100 juta itu berarti sekitar Rp. 140 rib/hari. Nah, saya katakan bahwa kalau mobil dibeli dan tidak dipakai maka sekitar itulah kerugiannya. Kemudian saya ajak dia berpikir, kalau seorang sopir Taksi menggunakan mobil tersebut dan mendapatkan penghasilan rata2 Rp. 400 ribu/hari, maka dia bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp. 260 ribu/hari, atau sekitar Rp. 180 juta dan bukan rugi Rp. 100 juta dalam 2 tahun tersebut. Sampai disini anak saya langsung kaget dan bertanya "wah berarti tidak rugi dong membeli mobil ya?".

Begitulah akhirnya anak saya mulai menyadari bahwa sebenarnya tubuh dan jiwa kita pun seperti sebuah kendaraan yang diberikan oleh Tuhan untuk kita gunakan. Ada yang menggunakan untuk kegiatan sehingga bisa memberikan hidup bagi orang lain dan ternyata masih ada juga yang hidup tetapi bahkan untuk makan sendiri saja kesulitan. Memang agak susah memahami bahwa saat sekarang ini dengan jumlah waktu yang sama 24 jam dan kondisi fisik yang relatif sama, ternyata output dari seseorang bisa berbeda2, untuk anak seusia Nathanael.

Saat ini anak saya memang masih berumur 13 tahun, tetapi mulai belajar menepati jadwal belajar dan bermain sesuai waktu yang tersedia, tetapi pada pagi itu saya menyadari bahwa dia sedang mendapat kesempatan untuk bisa lebih mengerti bagaimana orang lain menghargai segala suatu pemberian, termasuk pemberian melalui orang tua, pekerjaan dan sebagainya. Kebetulan kami juga pernah mendapatkan kesempatan ketika ada anak kecil yang sedang mengamen di perempatan Cideng, dan kami berikan uang Rp. 10 ribu, dia bisa melihat sendiri bahwa sang anak tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali, dan ini merupakan kesempatan yang langka saat kami bisa menyaksikan sendiri bahwa betapa kita sering lupa berterima-kasih atau kadar bersyukur yang berbeda kalau hidup kita selalu tercukupi dibandingkan saat kita sedang membutuhkan sesuap nasi atau seteguk air minum.

Demikian saya pagi itu saat berjalan sehat dan bersama anak kembali menemukan cara pikir yang sederhana untuk menentukan bagaimana menjelaskan mahal atau tidaknya sesuatu adalah berdasarkan cara kita menghargai dengan sebanyak apa bisa kita berikan manfaat sesuatu bagi orang lain dan bila kita harus mengalami kesusahan supaya kita bisa lebih diingatkan betapa bersyukurnya kita masih bisa hidup.

Orang bijak bilang kalau masih sulit merasa bersyukur, walau sedang menerima cobaan, coba hitung berkat2 yang telah kita terima dari 0 tahun sd sekarang... Saya pernah coba dan hasil hitungannya selesai baru pada keesokan harinya dimana saya selesai bangun dengan segar, seperti halnya pada pagi hari ini. Terima kasih Tuhan atas setiap kesulitan dan berkat yang kami terima...

William Wiguna (45) refleksi bersama Nathanael Wiguna (13)